Rabu, 03 Januari 2024

Merayakan Kehilangan

Ini adalah tulisan yang sentimentil, tentang rasa dan bertahan dari badai yang datang pada diri.

"Butuh waktu berapa lama untuk bisa melewati duka? Apakah berduka berbulan-bulan itu wajar?Bagaimana cara mengatasi duka dan kehilangan? Apakah wajar bersedih lama setelah ditinggal mati seseorang?"

Itu semua adalah pencarianku di Google selama beberapa bulan, masa-masa berkabung yang aku sendiri tidak tahu pasti ada akhirnya atau tidak. 

Tahun lalu, tepatnya 2023 adalah tahun yang tidak mudah buatku, sebab aku kehilangan seorang keluarga yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Kematian yang tidak pernah disangka-sangka oleh siapapun juga, sebab ia terlihat kuat dan baik-baik saja. Dihari kematiannya (hari kedua puluh ramadhan) aku tidak menangis sesenggukan, hanya sesekali mengusap air mata yang menetes. Namun beberapa hari setelahnya bahkan beberapa bulan setelahnya, aku tidak pernah tidak menangis setiap akan tidur.

Berbulan-bulan seperti kosong dan tidak bergairah, beraktivitas hanya sekedar menjalani apa yang biasanya aku jalani. Pekerjaan? Uang? Entah, pikiranku seperti buntu, aku hanya ingin "istirahat" sejenak, menangis sejadi-jadinya, meratap, dan tidak memikirkan apapun meski sebentar, namun hidup terus berjalan bukan? 

Empat bulan sekiranya semua itu kujalani, mulai terbersit dipikiranku untuk mendatangi psikolog dan bertanya, "apakah semua ini wajar?", tapi tidak sempat terlaksana, sebab tiba-tiba saja aku merasa hidup mulai hangat, aku melihat ia dalam ingatanku sedang tersenyum tulus padaku, ia yang selalu ingin aku bahagia, yang juga sedih ketika aku sedih, bahkan mengkhawatirkanku hanya karena aku diare, saat ia sedang sangat lemah dan sakit. Itu yang tiba-tiba saja aku ingat, bahkan sampai saat ini. Seperti hal yang tidak bisa aku nalar dan sulit aku jelaskan, tetapi bisa aku rasakan.

Air mata? Tentu saja masih ada dan sesekali datang, tapi senyuman dan kehangatan? Jauh lebih intens mengisi hari-hari dan hati. Melupakan? Tidak, sebab selamanya ia akan ada dan bersemayam dihati.

Oh tentu aku merasa beruntung bisa menjadi bagian dari hidupnya, dipenuhi oleh cinta dan kehangatan yang ia beri, yang tidak akan aku sia-siakan begitu saja. Saat ini, aku merasa penuh dan hangat. Aku berharga, engkaupun begitu, siapapun kamu yg sedang membaca ini.

Kelak jika badai datang kembali, atau bahkan mungkin lebih besar, aku akan membuka dan membaca ini lagi, barangkali sambil meratap dan menangis, tidak apa. 

Setiap hal patut untuk dirayakan bukan? Begitupun kehilangan dan kesedihan, dan ini caraku.

--

Ah iya, 2 bulan setelah gairah hidup itu muncul lagi, aku ikut komunitas lari di kotaku, sungguh hal yang sama sekali tidak aku rencanakan, bahkan masih tidak aku duga dan nggak habis pikir saja sampai sekarang. "Iseng" tiap kali ada yang bertanya, "kenapa tiba-tiba lari?" Hehe. Keisengan yang justru buatku candu. Sekarang aku masih sangat struggle dengan kesukaan baruku ini, tetapi tidak ingin berhenti. Candu, ya candu! Kapan-kapan mungkin saja akan aku ceritakan tentang ini. 

Terimakasih sudah membaca, semoga harimu menyenangkan! 

Minggu, 25 November 2018

Menjelajahi Sumber Pitu Pujon Malang

Apa yang ada dipikiranmu ketika mendengar Malang? Apel? Cuaca dingin? Pantai? Atau kampusnya? Oh sebenarnya Malang juga miliki banyak sekali wisata alam selain pantai dan gunung, memang sebab kawasannya dikelilingi gunung, tidak heran jika Malang juga miliki banyak sumber mata air, termasuk juga sumber mata air yang saya datangi ini.

** 

"Jam berapa warga setor susu sapi ke koperasi?"
"Jam 5 pagi,"
"Okelah, kutunggu,"
Pukul 3 dini hari, di perapian dekat tenda camp.

**

Aku bertahan di perapian dengan sisa-sisa tenaga, menahan kantuk untuk tidak tidur sampai pukul 5 pagi demi beli susu sapi segar yang disetor warga sekitar ke koperasi desa. Bicara sekedarnya, mendengar ocehan teman dengan malas-malasan dan memastikan api unggun di perapian menyala sampai terang matahari muncul.

Pelan, api perapian mulai padam, satu persatu teman yang sejak pukul dua pagi pergi tidur mulai keluar dari tenda, cuaca mulai terang dan sesekali kulihat orang-orang kampung mendatangi koperasi desa dengan wadah cup besi besar yang dipikul di kepala.


Warga pergi setor susu sapi

**
"Oke, sudah jam 5 pagi, ayo beli susu sapi,"
"Eh km mau kemana?"tanya rekan bermalamku yang juga tak tidur semalaman
"Loh, ke koperasi desa beli susu sapi, kita mau kesitu kan?"
"Kamu nggak liat, susu sapi mulai diangkut mobil untuk dibawa ke koperasi di kecamatan, kita terlambat,"
"Trus kita mau kemana?"

**
Alih alih ke koperasi desa, kami justru berjalan ke arah yang berlawanan, berjalan perlahan sambil menunggu cahaya matahari muncul sempurna.
"Kita jalan jalan pagi aja, ini jalan ke arah sumber air, kita kesitu,"



Ladang sayur yang kami temui selama perjalanan
Aku memprotes, sebab kabarnya, kami harus berjalan 3km lebih untuk sampai tempat parkir sumber air, dan masih harus berjalan lagi 2km lebih untuk menuju sumber airnya, yang kabarnya jalanan yang bakal dilalui jauh lebih terjal dari yang ada dihadapan kami.



Aku melengos kesal sembari mengoceh tak jelas, tapi toh kembali ke tenda juga bukan pilihan yang ingin kuambil, sebab membayangkan aku tetap tak bisa tidur diantara teman-teman yang sedang tertidur pulas membuatku malas.

Pelan tapi pasti, langkah kami semakin menjauhi tenda dan perkampungan.

Suasana pagi, udara segar, suara-suara hewan di pepohonan, sesekali angin lembut pagi, rasa-rasanya aku telah lupa akan kekesalanku tadi, aku mulai menikmati perjalanan kami meski mengantuk dan lelah, ah ya, dan tidak lupa mengambil gambar.




Sayuran di perkebunan milik warga setempat


Lahan tawon madu milik warga

**
Setengah tujuh tepat saat kami sampai di parkiran, pos terakhir sebelum melanjutkan perjalanan ke sumber air yang kabarnya berjarak 2km lebih. 

Tak ada kendaraan terparkir selain satu mobil, satu tenda, dan beberapa pria dewasa yang sepertinya memang bermalam di lokasi, deretan warung masih tertutup rapat, tak ada tempat beristirahat, dan hanya ada dua toilet di ujung. Sepi, hening, hanya suara lembut kicauan burung hutan di pagi hari, dan sesekali desiran angin. Kami beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.


Kondisi jalan menuju parkiran

**
Tidak mudah memang, trekking di pagi hari tanpa persiapan apapun sebelumnya, tanpa sepatu hiking, tanpa bekal, tanpa uang saku sebab tas tertinggal di camp, jadilah kami hanya bergantung pada satu botol air yang isinya tidak seberapa, yang memang sengaja dibawa oleh temanku.

Ngantuk? Capek? Pasti, tetapi harapan akan tempat indah yang akan kami kunjungi membuatku lebih kuat dari biasanya, membuat energiku bertambah, entah dari mana, begitulah, lantas kami melanjutkan perjalanan, kali ini tanpa sepatu yang aku kenakan, sebab hanya sepatu karet model bolong bolong di semua sisi yang hanya akan merepotkan, pikirku saat itu. 

Aku putuskan meninggalkannya di parkiran, nekat memang, tapi begitulah keputusan yang diambil oleh orang yang telah trekking berkilo-kilo jauhnya tanpa tidur malam sama sekali sebelumnya.


Nyeker

Sepuluh langkah kami berjalan, dua puluh langkah, entah langkah keberapa saat kami mulai letih sekaligus juga bersemangat, energi seolah bertambah, barangkali sebab pemandangan-pemandangan yang kami dapati selama perjalanan









Satu jam perjalanan, akhirnya kami mulai mendengar suara air mengalir, tangga jalan setapak menghantarkan kami ke sumber air.



Dan setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, setelah tak tidur semalaman, dan trekking dadakan tanpa persiapan, tanpa bekal, tanpa sepatu atau sandal yang layak, sampailah kami ditujuan, sumber air yang biasa dinamai sumber pitu, sebab titik air mengalir ada tujuh rupa.

Baguskah? Woaaa aku berdecak kagum tak bisa berkomentar banyak, aku mengibaratkannya seperti alam di negeri dongeng yang biasa digambarkan dalam film-film kartun Disney. Oke barangkali aku berlebihan, kalau begitu aku persilahkan kalian untuk melihat sendiri keindahannya


Matahari muncul dari balik tebing sekitar pukul 8 pagi -sumber siji-


Sumber pitu, tujuh titik aliran air



Jadi, bagaimana? Masih ragu karena masih harus jalan kaki? :)

**

Notes

Coban Sumber Pitu Pujon Malang, sekitar 45 menit dari kota Malang.

Getting there
Bisa pakai kendaraan pribadi, sewa kendaraan, atau ojek online, karena jalan untuk kendaraan sudah terbilang bagus. Kalau kamu wisawatan luar kota yang memilih pakai kendaraan umum, bisa, sangat bisa.
Kamu bisa naik bus Bagong dari terminal Landungsari Malang, dan turun di Pasar Pujon, selanjutnya bisa sewa ojek konvensional di pasar sampai parkiran tempat wisata, untuk selanjutnya trekking ke lokasi sumber air.

Why Sumber Pitu?
Ada 3 sumber mata air di satu lokasi, dan saling terhubung, sumber pertama biasa disebut sumber siji (yang artinya satu dalam basa Jawa, dan memang hanya ada satu titik aliran air), naik sedikit dari sumber siji, lokasi lebih tinggi dari sumber siji, ada sumber pitu (yang artinya tujuh dalam basa Jawa, memang terdapat tujuh titik aliran air), dan terakhir lokasi yang paling tinggi, sumber papat (yang artinya empat dalam basa Jawa, terdapat empat titik sumber air mengalir).

Rute dan kondisi jalan bagaimana?
Mobil sudah bisa masuk, cuma jalan bebatuan sedikit terjal. Lokasi dari jalan raya ke "pintu masuk" atau kampung terakhir kira-kira 4km lebih, jalan mulus lancar, dari "pintu masuk" ke parkiran 3km lebih, jalan bebatuan sedikit terjal. Lokasi dari parkiran ke sumber air kira-kira 2km, dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan, medan cukup terjal dan nanjak (disarankan pakai sepatu yang layak dan membawa persediaan bekal, sebab di lokasi sumber air tidak ada pedagang makanan).

Aliran listrik, sinyal, bagaimana? rest area?
Info dari penjaga warung di parkiran, di parkiran tidak ada aliran listrik, baru ada kalau sudah turun ke bawah ke perkampungan warga. Tidak ada rest area, tidak ada restaurant atau penginapan di lokasi, hanya ada dua warung yang mulai buka dari jam 8 pagi sampai 4 sore, dua toilet, satu ruangan petugas setempat, dan pangkalan ojek.
Sinyal? Selama jalur trekking ada, memasuki area sumber tidak ada, di parkiran juga tidak ada.

Cheers,

Anisah

Instagram @anisah.17

Kamis, 15 November 2018

What a beautiful sunrise! Menikmati sunrise dari puncak kota Batu Malang

Menikmati Batu bagai menikmati dunia fantasi yang menggemaskan, bagaimana tidak, berbagai pernak pernik disuguhkan untuk memanjakan siapapun yang datang berkunjung, wahana-wahana permainannya, pemandangan alamnya, warna warni bunga di sudut-sudut kampungnya, sampai wisata kulinernya yang beragam.

Baiklah, barangkali saya berlebihan, tapi yaa begitulah, seolah saya enggan berhenti untuk datang ke kota ini, lagi dan lagi, terlebih saat saya berkesempatan melihat sunrise yang mengagumkan di kota ini.

Belum banyak yang tahu memang, di kota Batu kita bisa menikmati sunrise yang aduhai, dan barangkali bisa menjadi alternatif bagi siapapun yang sedang ingin menikmati Kota Batu dari sisi yang berbeda.

Oh tidak, kita tidak sedang membicarakan gunung yang harus didaki untuk menikmati sunrise yang indah, kita hanya perlu pergi ke puncak Kota Batu, lebih tepat Resort and Hotel Jambuluwuk dan menikmati sunrise sambil selonjoran santai di kursi-kursi kosong di depan kolam renang utama, tanpa perlu berdesakan dan tanpa perlu antri, namun perlu diingat, kita harus menjadi pengunjung tamu dulu di resort ini jika ingin menikmati itu semua.

2018-02-08 011611402048..jpeg


kolam renang utama di siang hari

**
Berbekal baju hangat dan syal, saya dan teman saya bertekad pergi ke kolam renang utama pada pukul 03.00 pagi, bukan untuk berburu sunrise pada mulanya, tetapi untuk berenang, ya berenang!

Sebuah ide konyol yang sama sekali tidak menarik, dengan terpaksa saya menuruti kemauannya berenang pada dini hari, ya dini hari! Pukul 03.00 pagi, kalau bukan ide gila, lalu apa? Baiklah, lupakan dulu kekonyolan ide teman saya yang memang gila itu.



Selama kurang lebih satu jam berada di kolam renang utama, teman saya belum juga memutuskan akan berenang atau tidak, sedikit kesal, berkali-kali saya mengutarakan keinginan kembali ke kamar, tentu, kamar lebih menggoda bagi saya yang saat itu kedinginan dan masih mengantuk, meski untuk sampai kamar, kami mesti terlebih dulu mengendarai motor karena jarak yang cukup jauh.

Menyadari saya tak bergairah, ia berusaha menghibur sebisanya, semata mengulur waktu agar kami tetap bertahan di kolam, entah apa yang dimau saat itu.

Sampai pada detik ketika kami menyadari hari mulai terang sebab semburat cahaya matahari yang perlahan muncul. Seolah kami terkesima, dan sejenak melupakan semua kekesalan serta ide konyol berenang.

Kami terpaku akan keindahannya, bagaimana tidak, semburat oranye memenuhi langit yang gelap, serta dikejauhan, sedikit menengok ke bawah kami melihat lampu-lampu dari rumah penduduk kota seperti bintang berserakan dengan posisi berbalik, di bawah, di bumi, bukan di kolong langit. Tentu, kami mengabadikan moment itu dengan penuh sukacita.



Kami asik potret sana sini, bersenda gurau tak karuan, ketawa ketiwi cekikikan, kami tidak lagi ingat hawa dingin yang sempat bikin kesal, tidak lagi menggubris tujuan utama kami kemari, toh kami menikmatinya.

Kami menyaksikan bagaimana satu persatu lampu dari rumah - rumah penduduk mulai padam secara bergiliran, sebab hari yang mulai terang. Kami senang belaka menikmati setiap detiknya.

Saking gembiranya, nyaris saja kami lupa, sunrise belum juga muncul meski hari sudah terang. Pukul setengah 5 pagi lebih sekian menit, bergegas kami mencari informasi kemunculan sunrise.

Berbekal sedikit informasi yang didapat, kami putuskan bertahan di kolam utama menanti sunrise yang betul-betul paripurna muncul, maksudnya muncul bulat utuh sempurna, tidak hanya cipratan cahaya. Itupun jika informasi yang didapat valid, jika tidak, kami harus cukup puas hanya dengan menikmati semburat cahaya oranye, tanpa sunrise yang paripurna.



Teman saya, jangan ditanya, ia selalu punya ide konyol, kali ini ia memutuskan mandi! Ya mandi pukul 05.00 pagi hari, ‘’Biar nggak ngantuk dan difoto ntar cantik’’, katanya beralasan, saya hanya mengiyakan dan kembali leyeh-leyeh di kursi santai kolam, sambil sesekali mengecek jam di handphone, tak sabar menunggu pukul setengah enam pagi, waktu yang diinformasikan sunrise paripurna akan muncul.



Nyaris saja saya tertidur, saat mata saya silau sebab pancaran cahaya matahari berlebih. Seperti adegan dalam film romansa, mata silau karena pancaran sinar berlebih dari sosok yang kita kagumi muncul dari pintu, untuk selanjutnya terkesima tak bisa berucap atau berbuat apapun, bengong, ya cuma bengong, hening, dua tiga detik, lantas tersadar dan buru-buru mencari handphone, potret sana sini sambi lompat-lompat girang setelahnya, begitulah, seolah itu moment pertama kalinya melihat matahari terbit.





Ada bahagia yang tak terkatakan, dan sulit didefinisikan, hanya bahagia. Huh, rasa-rasanya momen ini akan menjadi candu bagi saya. Bagaimana denganmu? Dan ah ya, akan berburu sunrise dimana lagi setelah ini?



**

NOTES

RESORT AND HOTEL JAMBULUWUK BATU
Jln. Trunojoyo 99 Songgokerto, Batu

Getting there
Jika kalian berangkat dari stasiun kota Malang, kalian bisa sewa mobil atau order mobil/motor via aplikasi online, tarif relatif terjangkau karena jarak Kota Malang ke Batu tidak terlalu jauh (berkisar 30-60 menit perjalanan)

Pada jam berapa waktu yang tepat untuk menikmati sunrise di resort ini?
Jam setengah 6 pagi

Bisakah ke tempat ini (pool and bar) tanpa harus menginap?
Bisa pada jam operasional, dan dikenakan tarif seratus ribu rupiah. Tetapi jika ingin menikmati sunrise disarankan menjadi tamu di resort ini, sebab kolam renang utama (lokasi strategis menikmati sunrise) belum dibuka untuk umum pada jam setengah 6 pagi.

Cheers,

Anisah

Instagram @anisah.sh